**

Tuesday, April 2, 2013

Kisah Pak Kordi [Sebuah Renungan]

dakwatuna.com - Pak Kordi berkali-kali menyampaikan keinginannya untuk berangkat umrah tahun ini. “Mas, aku pengen berangkat umrah. Harus berangkat tahun ini, sesegera mungkin”, ujarnya, dengan mimik wajah serius, padaku, dan ini sudah kesekian kalinya. Aku sendiri terheran-heran, karena selama ini Pak Kordi bukanlah sosok yang dikenal taat beribadah, bahkan kebalikannya. Sering, meski selalu kutolak, aku diajaknya ke diskotik atau kadang aku ditawarinya ikut ke panti pijat yang tentunya bukan sekadar pijat. Pak Kordi sosok yang tak pernah absen di kantin kantor jika waktu shalat Jum’at tiba. Dia juga memilih untuk menikmati isapan rokoknya jika tiba waktu break untuk shalat.
“Bagaimana pendapat Mas Fery soal umrah, maksud saya, apakah saya boleh umrah?”. Ini juga pertanyaan yang entah ke berapa kalinya. Aku selalu menjawab sama, boleh, yang kemudian ku tambahkan bumbu-bumbu untuk memperkuat jawaban. Pernah juga aku sodorkan berlembar-lembar tulisan hasil download dari internet, isinya banyak hal tentang umrah dari berbagai laman web, sekadar agar dia tak lagi bertanya. Tapi tentu saja dia masih bertanya. “Apakah saya yang belum sempurna iman ini boleh umrah?”.
Entah bagaimana awal mulanya aku dan Pak Kordi kemudian bisa satu divisi di kantor. Pak Kordi yang senior, ia sudah mendedikasikan dirinya untuk kantor tempat kami bekerja hampir dua puluh tahun lamanya, setua usia perusahaan kami. Aku sendiri baru lima tahun lebih tiga bulan menjadi pegawai. Meskipun lebih lama masa bekerjanya, tapi di divisi ini Pak Kordi memang orang baru, setahunan. Konon kabar, dulunya Pak Kordi memimpin anak cabang dari perusahaan kami, di luar negeri, sepuluh tahun lamanya, kemudian ia digantikan oleh keponakan dari pemilik perusahaan. Ia dipindah ke sini, di Divisi Pengembangan Bisnis, kantor pusat – induk perusahaan. Bergengsi, tapi sebenarnya hanya bentuk pengusiran, pelengseran dari kursi direktur yang dudukinya. Menurut rumor, Pak Kordi, seiring usianya, dianggap sudah tidak produktif tapi tidak mungkin dipecat karena dia senior. Maka di sinilah ia.
“Mas, saya harus umrah tahun ini. Bukan tahun depan atau tahun depannya lagi. Tahun ini saya harus umrah”. Selalu dengan muka serius, mimik yang selalu sama, dan tentunya pertanyaan yang sama, “bolehkah saya yang belum sempurna imannya ini berangkat umrah?”
Dari raut mukanya, Pak Kordi pertama kali pindah ke divisi ini memang tampak tidak senang. Yang aku tahu, hari-hari pertamanya hanya diisi dengan membenamkan diri di mejanya, berkutat dengan laptop, tapi bukan untuk bekerja, ia bermain games dan internet sepanjang waktu. Bahkan hampir tiga bulan berikutnya ia tetap sama, tetap berkutat dengan permainan dan internet dari laptopnya, tidak ada tugas spesifik yang dikerjakan. Namun selama tiga bulan itu, kepala divisi kami tidak pernah memberi perintah atau tugas padanya. Seperti yang lainnya dalam divisi kami, segan atau takut untuk sekadar memulai pembicaraan dengannya. Dia sendiri pun tak pernah menegur sapa.
“Harus, saya harus berangkat umrah tahun ini”. Tekadnya bulat. Diulang hampir di setiap kali ia bertanya padaku soal keinginannya berangkat umrah, sebagai kalimat penutup, dan seperti telah menjadi kebiasaan sembari ditepuknya pundakku.
Sebuah prestasi, menurut kawan-kawan, di divisi ini memang aku, satu-satunya, yang dekat dengan Pak Kordi. Kedekatan itu terjadi ketika enam bulan yang lalu kepala divisi membentuk tim kerja. Tiga hingga empat orang tiap tim, dalam daftar itu, aku dan Pak Kordi masuk dalam satu tim. Kami keliling ke daerah-daerah. Jadwalnya padat. Paling padat dibanding tim lain. Pencapaian kerja terbaik. Pak Kordi lah yang berperan dominan dalam eksekusi deal-deal bisnisnya. Sedang aku, menurut Pak Kordi, adalah sebuah titik yang menjadi penutup kalimat. Tidak banyak peran, tapi ia sebut penting. Karena itulah aku paling banyak menghabiskan waktu bersama pak Kordi dibanding anggota lain dalam tim. Bahkan tak jarang, aku bersamanya di luar urusan kerja. Aku sendiri menganggap kedekatan itu sebagai bentuk kewajiban, karena partner kerja, menghargainya sebagai orang tua, dan yang paling sering, memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, terutama soal umrahnya, tak bisa lebih dekat dari itu. Aku dekat tapi membatasi, aku tak suka ajakannya untuk “minum atau main perempuan”.
“Mas, bolehkah saya umrah?”. Tak ada lagi pertanyaan itu kali ini. Pertanyaan yang hampir selalu dilontarkan ketika aku melintas di meja kerjanya – letak mejaku melewati mejanya. Kulihat kursi Pak Kordi kosong. Biasanya tidak demikian, Pak Kordi biasanya sering datang lebih awal dariku. Lega karena tak harus memberikan jawaban. Tak harus memasang muka dengan menjaga sesungging senyum, meski masam hati karena pertanyaan yang selalu sama.
“Tahun ini saya harus umrah. Saya sudah meyakinkan diri untuk umrah tahun ini, bukan tahun depan atau tahun depannya”. Serasa menjadi asing tak mendengar Pak Kordi memotivasi dirinya hari ini. Sejak ia mulai bertanya tentang umrah, sejak itu, tiap hari, menjelang jam istirahat kantor atau ketika hendak berpisah menuju kamar masing-masing di hotel saat kami dinas di luar kota, selalu ia selipkan kalimat motivasi umrahnya.
Seusai istirahat, setelah shalat dan makan siang, meja Pak Kordi masih kosong. Sepertinya hari ini dia tak masuk kerja. Kuketik SMS, menanyakan kabarnya. Lima hingga sepuluh menit tak berbalas. Bahkan sudah sejam pun tak dibalasnya. Pak Kordi bukan tipe demikian, tak membalas SMSku.
Menjelang waktu pulang, lelaki itu, Pak Kordi, berada di ruang kepala divisi kami. Sekitar lima menit mereka nampak berbincang kemudian Pak Kordi keluar mengarah ke mejanya. Bukan, ia menuju mejaku. Seakan tak berharap aku bangkit dari kursi, ia sodorkan padaku surat dalam amplop. “Bacalah!”, sembari menjabat tanganku. Setelahnya ia pergi, keluar kantor, mungkin pulang. Antara heran dan tertegun, aku dua kali membolak-balik amplop pemberian Pak Kordi, mencoba menerka isinya. Lalu kusobek, kubuka dan kubaca isinya.
 ---------

Sahabatku, Mas Fery
Saya bukan orang yang pandai berbasa-basi, apalagi dalam tulisan. Ini pertama kalinya saya menyampaikan dalam bentuk tertulis karena saya tak bisa menyampaikan secara langsung. Tulisan ini sebagaimana tujuannya, mengungkapkan semua yang tak bisa saya katakan secara lisan pada Mas Fery.
Ketika Mas Fery menerima surat ini, berarti ini merupakan hari terakhir saya menjadi partner kerja Mas Fery. Sudah waktunya saya mengundurkan diri, mengakhiri masa pengabdian saya di perusahaan ini. Saya sudah tua, sekarang saatnya menikmati dan menghabiskan sisa usia bersama dengan keluarga. Dan itu berarti, sudah waktunya saya menyampaikan hal berikut kepada Mas Fery;
Pertama, saya sangat menikmati kebersamaan kita selama setahun belakangan ini. Bersama dengan Mas Fery, saya merasa seperti kembali muda, penuh semangat kerja. Seperti yang pernah saya sampaikan bahwa Mas Fery merupakan titik yang menjadi penentu di mana rangkaian kata-kata saya berakhir menjadi kalimat, dan saya tidak salah telah mendapatkan partner kerja sekelas Mas Fery. Banyak hasil dari capaian kerja tim diawali dengan analisa akhir Mas Fery, dan saya sangat suka. Itu luar biasa. Mas Fery merupakan aset berharga bagi perusahaan ini. Semoga Mas Fery tak berniat bekerja di perusahaan lain.
Kedua, maafkan atas kelancangan saya, yang hampir tiap kali berjumpa dengan Mas Fery, selalu bertanya soal umrah. Dan saya berterima kasih karena Mas Fery bersedia memberikan jawaban. Saya mulai bertanya soal umrah ketika selama tiga bulan pertama saya berada dalam satu ruang, meski Mas Fery segan menegur saya, Mas Fery selalu pamit dan mengajak saya untuk shalat di setiap waktu shalat tiba. Tanpa banyak bertanya, Mas Fery menyempatkan, setiap hari, mengajak saya untuk shalat. Hanya mengajak shalat. Begitu pula sebaliknya, selama setahun kita menjadi Partner, selama ada kesempatan, saya pun mengajak Mas Fery untuk pergi ke diskotik, menikmati minuman keras atau “main perempuan”, dan Mas Fery selalu menolak.
Ketiga, karena semua hal di atas, maka kemarin saya resmi mengundurkan diri dari perusahaan ini, sudah waktunya saya menikmati masa tua tanpa beban atas perusahaan ini. Saya sudah minta Pak Candra, pemilik perusahaan kita, untuk menempatkan Mas Fery sebagai pengganti saya. Akhirnya saya merasa lega, menemukan orang yang tepat.
Keempat, nama saya bukan Kordi, dan saya minta maaf, saya juga bukan seorang muslim sebagaimana yang selama ini Mas Fery sangka. Nama Asli saya, Cornellius Adi Wijaya. Nama Kordi merupakan nama yang asal sebut untuk menutupi identitas asli saya. Adi Jaya, nama salah satu anak perusahaan kita, diambil dari nama saya. Ya, saya saudara dari Candra Wijaya, keluarga pemilik PT Jaya Grup. Saya sengaja menyamarkan identitas demi mengenal Mas Fery secara lebih dekat.
Setahun lalu, sebelum saya menyamar menjadi partner Mas Fery, mungkin Mas Fery sudah lupa, sebenarnya kita pernah berjumpa. Ada meeting yang dilaksanakan dari pagi hingga sore. Di tengah meeting ada bunyi adzan yang saya kira pasti berasal dari HP Mas Fery – Saat itu saya jengkel, merasa terganggu, mengapa dalam meeting yang penting, tidak disilent saja. Saat itu Mas Fery menyampaikan izin untuk shalat. Kejadian berulang di sore harinya, HP itu mengeluarkan bunyi adzan lagi dan Mas Fery meminta izin kembali untuk shalat. Perasaan jengkel saya berubah menjadi kagum. Mas Fery bergegas memenuhi kewajiban pada Tuhan. Saya kagum karena dalam ruangan itu ada beberapa karyawan yang juga muslim, tapi mereka tetap duduk di tempatnya. Mungkin selang beberapa lama kemudian ada yang beranjak untuk shalat, tapi tak ada satu pun yang berterus terang meminta izin untuk shalat, seperti yang Mas Fery lakukan. Di situlah saya yakin, Mas Fery adalah orang yang tepat menggantikan saya. Keyakinan saya tidak salah. Saya telah membuktikan keyakinan itu selama setahun terakhir ini.
Terakhir, selamat berangkat umrah, saya sudah siapkan paket umrah untuk Mas Fery dan keluarga, empat orang. Nanti akan ada yang menghubungi Mas Fery untuk mengurus (jika belum ada) passport dan dokumen lainnya. Dan seusai umrah, saya berharap Mas Fery sudah bisa memulai aktivitas yang baru, menjadi orang nomor satu di anak perusahaan Jaya Grup, PT Adi Jaya.
Salam hangat,
Cornellius Adi Jaya



Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/04/30346/pak-kordi-dan-rencana-umrahnya/#ixzz2PIP3xFWQ
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

***

No comments:

Post a Comment

****